PGEO

πŸ”₯ Komparasi Emiten Geothermal: Valuasi Unggul PGEO, BREN Menarik karena Grup Barito by Theodorus Melvin

πŸ‘‹ Stockbitor!

  • Kapasitas PLTP BREN lebih tinggi dari PGEO, meski seluruhnya berada di tanah wilayah kerja PGEO.

  • Pendapatan dan laba usaha BREN lebih tinggi dibandingkan PGEO, tetapi laba bersih PGEO lebih unggul karena beban keuangan lebih rendah.

  • Walaupun PGEO terlihat lebih unggul dari berbagai aspek, BREN tetap memiliki fundamental yang baik dan lebih menarik bagi investor yang melihat konteks perseroan sebagai β€˜anak emas’ dari grup Barito.


Executive Summary


Barito Renewables Energy
($BREN) siap melantai di BEI pada Oktober 2023, menandai emiten geothermal kedua yang listing di bursa setelah Pertamina Geothermal Energy ($PGEO). Apabila dibandingkan dengan PGEO dari sisi operasional, finansial, dan valuasi, BREN memiliki kinerja sebagai berikut:

Operasional: BREN unggul dalam kapasitas terpasang dibandingkan PGEO – BREN merupakan perusahaan geothermal dengan kapasitas terpasang PLTP mencapai 886 MW, terbesar di Indonesia. Kapasitas tersebut membuat perseroan dapat mencatatkan pendapatan dan laba usaha yang lebih besar dibandingkan PGEO. 

Finansial: Higher OPM for BREN but higher NPM for PGEO – Beban keuangan yang besar dengan Debt to Equity Ratio mencapai 3,99x menyebabkan NPM dan laba bersih BREN lebih kecil dibandingkan PGEO.

Valuasi: Cheaper, or Barito Group? – Secara valuasi, BREN (P/E 60,2–70,1x, P/BV 14,1–15,2x) lebih premium dibandingkan PGEO (P/E 28,3x, P/BV 2,15x) per 27 September 2023. Namun, valuasi premium BREN dapat dijustifikasi jika dibandingkan dengan valuasi emiten Grup Barito lainnya di BEI, seperti BRPT (P/E 546,6x) dan TPIA (P/E -112x).

Ekspansi: BREN menambah kepemilikan di PLTP dan PGEO berpotensi akuisisi perusahaan lain – Ke depannya, BREN dan PGEO akan terus melakukan ekspansi, baik secara organik melalui pembangunan unit PLTP baru maupun inorganik melalui beberapa aksi korporasi. BREN akan menggunakan sebagian dana IPO untuk menambah kepemilikan di PLTP Salak dan Darajat. Di sisi lain, PGEO dirumorkan akan menjadi induk holding BUMN Geothermal dan mengakuisisi PLTP Sorik Marapi senilai US$1 miliar.

Risiko: Beban keuangan dan valuasi premium bagi BREN, penambahan utang berbunga dan pergantian personel manajemen bagi PGEO – Beberapa risiko yang meliputi BREN antara lain adalah beban keuangan yang besar serta valuasi yang jauh lebih premium dibandingkan PGEO. Selain itu, BREN juga memiliki risiko pelepasan aset karena PLTP perseroan berada di atas wilayah kerja milik PGEO. Di sisi lain, PGEO juga memiliki sejumlah risiko seperti penambahan utang berbunga akibat ekspansi, risiko tenggat waktu penyelesain proyek baru, serta risiko pergantian personel manajemen ke depan.


Untuk menyimpulkan, walaupun PGEO terlihat lebih unggul dari berbagai aspek, BREN tetap memiliki fundamental yang baik dan lebih menarik bagi investor yang melihat konteks perseroan sebagai β€˜anak emas’ dari Grup Barito, di mana kebanyakan perusahaannya memiliki valuasi premium.


Operasional: BREN Unggul dalam Kapasitas Terpasang, tetapi Berada di Wilayah PGEO

Pic:Perbandingan kapasitas terpasang PLTP milik BREN dan PGEO
Sumber: prospektus BREN dan PGEO

Dari sisi operasional, BREN memiliki kapasitas PLTP terpasang mencapai 886 MW, lebih besar dibandingkan kapasitas milik PGEO yang sebesar 672 MW. Lebih lanjut, seluruh PLTP milik BREN terkonsentrasi di 3 daerah yang relatif berdekatan di Jawa Barat. Di sisi lain, PLTP milik PGEO tersebar di 5 provinsi berbeda di Indonesia. Perbedaan lokasi ini dapat berdampak pada tarif listrik serta biaya operasional – seperti biaya gaji teknisi dan karyawan – yang akan berdampak pada margin laba usaha setiap area operasi PLTP.

Pic: Perbandingan rata-rata utilisasi PLTP BREN dan PGEO
Sumber: prospektus BREN dan PGEO, Stockbit analysis

Dalam membandingkan kualitas aset PLTP, salah satu faktor yang umum diperhatikan adalah tingkat utilisasi kapasitas. PLTP BREN memiliki tingkat utilisasi yang lebih tinggi dibandingkan PGEO. Hal ini menandakan bahwa BREN berhasil mengoperasikan PLTP-nya mendekati tingkat kapasitas maksimum.

Meski kapasitas dan tingkat utilisasinya lebih besar, seluruh PLTP milik BREN dibangun di atas wilayah kerja panas bumi (WKP) milik PGEO. Oleh karena itu, BREN terikat perjanjian Kontrak Operasi Bersama (KOB) yang mengharuskan BREN membayar biaya tunjangan produksi sekitar 3–4% dari total EBITDA kepada PGEO setiap tahunnya. Selain itu, perjanjian KOB ini juga mengatur bahwa PLTP yang dioperasikan oleh BREN akan dialihkan kepada PGEO setelah selesainya masa KOB yaitu 2039 (Wayang Windu), 2040 (Salak), 2041 (Darajat Unit 1–2), dan 2047 (Darajat Unit 3). Akan tetapi, perjanjian KOB ini dapat diperpanjang ke depannya sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak 

Ke depan, kapasitas terpasang milik PGEO dapat meningkat signifikan melalui akuisisi dan berpotensi melampaui BREN sebagai perusahaan geothermal dengan kapasitas terpasang terbesar di Indonesia. Akuisisi yang dimaksud adalah wacana dari Kementerian BUMN untuk membentuk holding geothermal, dengan PGEO bertindak sebagai induk. Jika wacana ini terjadi, PGEO akan mengakuisisi aset PT Geo Dipa Energi dan PT PLN Gas & Geothermal. Selain itu, Reuters melaporkan bahwa PGEO berencana mengakuisisi aset PT Sorik Marapi Geothermal, sebuah perusahaan geothermal yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Pic: Perbandingan pangsa pasar pemain panas bumi di Indonesia
Sumber: prospektus BREN yang diolah oleh Stockbit

Jika wacana holding geothermal dan akuisisi PT Sorik Marapi Geothermal terjadi, PGEO akan mendapatkan tambahan kapasitas 120 MW dari PT Geo Dipa Energi dan 140 MW dari PT Sorik Marapi Geothermal. Dampaknya, kapasitas terpasang PGEO akan naik dari 672 MW menjadi 792 MW hingga 932 MW.


Finansial: BREN Unggul dalam Pendapatan dan Laba Usaha, tetapi PGEO Unggul dalam Laba Bersih

Pic:perbandingan kinerja keuangan BREN dan PGEO dari 2020-2022
Sumber: prospektus BREN, prospektus dan laporan keuangan PGEO

Dari sisi finansial, pendapatan BREN pada FY22 mencapai US$569,8 juta, lebih besar dibandingkan PGEO yang sebesar US$386,1 juta. Pendapatan BREN lebih tinggi dari PGEO karena kapasitas PLTP terpasangnya lebih besar. Meski memiliki pendapatan dan laba usaha yang lebih besar, laba bersih untuk entitas induk BREN (US$91,1 juta) lebih kecil dibandingkan PGEO (US$127,3 juta) pada FY22. 


Margin EBITDA kedua emiten dalam 3 tahun terakhir stabil di kisaran 78,7–87%, dengan BREN sedikit lebih baik di kisaran 85,7–87% sementara PGEO di 78,7–82,6%. Namun, PGEO lebih unggul dalam NPM yang berada di kisaran 20,6–33%, sementara BREN di kisaran 12,2–16%.

Pic: Perbandingan OPM dan NPM pada PLTP milik BREN dan PGEO
Sumber: prospektus BREN, prospektus dan laporan keuangan PGEO

Dari sisi profitabilitas masing-masing PLTP, aset-aset yang dimiliki oleh BREN mencatatkan margin laba operasi (OPM) yang lebih besar dibandingkan aset-aset yang dimiliki oleh PGEO. Hal ini karena rasio beban tetap terhadap pendapatan akan lebih rendah jika kapasitas pembangkit listrik di satu titik semakin besar. Beban tetap yang dimaksud di sini adalah beban tunjangan karyawan dan teknisi. Dalam grafik di atas, bisa dilihat bahwa BREN memiliki rata-rata kapasitas terpasang yang lebih besar dibandingkan PGEO per lokasi (site). Dengan kata lain, BREN memiliki operating leverage yang lebih tinggi dibandingkan PGEO.

Meski lebih rendah dibandingkan BREN, margin laba operasi PGEO dapat meningkat ke depannya jika perseroan terus menambah kapasitas PLTP di masing-masing lokasi, sehingga bisa meningkatkan operating leverage. Saat ini, PGEO memiliki rencana ekspansi organik berupa pengembangan PLTP Lumut Balai Unit 2 sebesar 55 MW yang diharapkan dapat beroperasi pada 2024 dan PLTP Lahendong Unit 7 dan 8 sebesar 40 MW yang diharapkan dapat beroperasi pada 2027.

Sementara dari sisi margin laba bersih (NPM), aset-aset yang dimiliki oleh PGEO mencatatkan NPM yang lebih tinggi dibandingkan aset-aset yang dimiliki oleh BREN. Ada dua faktor yang menyebabkan NPM dari BREN lebih rendah dari PGEO meski pendapatan dan laba usahanya lebih tinggi, yakni: 

  • Seluruh laba bersih dari aset yang dimiliki BREN tertekan oleh beban keuangan, mengingat mayoritas aset diakuisisi menggunakan utang. Di sisi lain, mayoritas aset milik PGEO dibangun menggunakan kas internal, sehingga beban keuangannya relatif lebih kecil dibandingkan BREN.

  • Aset PLTP milik BREN tidak dikuasai 100% oleh perseroan, sehingga mengurangi persentase laba bersih untuk entitas induk.

Ke depan, BREN dapat meningkatkan NPM-nya dengan meningkatkan porsi kepemilikan di aset PLTP dan menurunkan beban keuangan. Sebagai gambaran, Debt-to-Equity Ratio (DER) BREN per 1H23 adalah 4,32x. Setelah pembayaran sebagian utang dengan dana IPO, DER BREN akan turun menjadi 3,99x. Di sisi lain, DER PGEO per 1H23 adalah 0,38x.

Pic: Perbandingan utang berbunga BREN dan PGEO per 1H23
Sumber: laporan keuangan BRPT dan PGEO 1H23

Selain NPM, BREN juga berpotensi meningkatkan laba bersih untuk entitas induk seiring rencana perseroan menambah kepemilikan di asetnya. Berdasarkan prospektus, BREN berencana meningkatkan kepemilikan di Star Energy Geothermal (Salak Darajat) BV – entitas yang mengoperasikan PLTP Salak dan PLTP Darajat – dari 76,1% menjadi 80,9%.

Pic: Pertumbuhan kinerja keuangan BREN dan PGEO dari 2020-2022
Sumber: prospektus BREN, prospektus dan laporan keuangan PGEO

Dari sisi pertumbuhan pendapatan, kedua emiten mencatatkan pertumbuhan di kisaran 3–6% per tahun dalam 3 tahun terakhir, dengan BREN sedikit lebih unggul (+4,6% CAGR 2Y) dibandingkan PGEO (+4,4% CAGR 2Y). Akan tetapi, pertumbuhan laba bersih untuk entitas induk PGEO (+32,2% CAGR 2Y) lebih unggul dibandingkan BREN (+19,6% CAGR 2Y) yang disebabkan oleh efek low base akibat penurunan (impairment) nilai aset tetap pada 2021.

Pic:Perbandingan kinerja keuangan BREN dan PGEO secara 1Q23
Sumber: prospektus BREN, laporan keuangan PGEO

Jika dibandingkan dari kinerja keuangan terakhir atau per 1Q23, kinerja keuangan PGEO secara keseluruhan lebih baik dibandingkan BREN. Kedua emiten mencatatkan pertumbuhan pendapatan double digit (PGEO +19% YoY, BREN +10% YoY) dan pertumbuhan laba bersih double digit (PGEO +49,3% YoY, BREN +31% YoY).

Per 1Q23, seluruh margin laba kedua emiten juga membaik. Margin EBITDA BREN naik menjadi 88% (vs. 1Q22: 86%), diikuti oleh kenaikan OPM sebesar 75% (vs. 1Q22: 71%) dan NPM sebesar 20% (vs. 1Q22: 17%). Di sisi lain, PGEO mencatatkan kinerja yang lebih baik dibandingkan BREN, dengan margin EBITDA naik menjadi 86% (vs. 1Q22: 84%) diikuti kenaikan OPM sebesar 75% (vs. 1Q22: 59%) dan NPM sebesar 46% (vs. 1Q22: 36%).


Valuasi: BREN Lebih Premium Akibat Valuasi Grup Barito

Valuasi saham BREN saat IPO lebih premium dibandingkan PGEO, dengan P/E Ratio di kisaran 60,2–70,1x dan P/BV Ratio berkisar 14,1–15,2x. P/E Ratio yang tinggi ini disebabkan oleh laba bersih yang lebih rendah akibat tingginya beban keuangan dan masih adanya kepentingan non-pengendali. Sebagai perbandingan, per 27 September 2023, saham PGEO diperdagangkan dengan valuasi P/E Ratio 28,3x dan P/BV Ratio 2,15x. Kendati demikian, valuasi PGEO sudah naik jauh dibandingkan harga IPO (P/E 18,3x dan P/BV 1,3x).

Pic: Perbandingan valuasi BREN dengan PGEO serta Grup Barito
Sumber: Stockbit analysis

Valuasi BREN yang lebih premium dapat dipahami, mengingat saham-saham yang dimiliki grup Barito selalu dihargai premium oleh market. Meski lebih premium dibandingkan PGEO, valuasi BREN masih lebih rendah dibandingkan emiten Grup Barito lainnya seperti BRPT (P/E 546,6x, P/BV 5,3x) dan TPIA (P/E -111,9x, P/BV 5,2x). Sebagai aset emas yang dimiliki BRPT, serta kinerja pendapatan dan laba bersih yang relatif stabil, memang sulit membayangkan BREN akan dilepas dengan valuasi yang murah.

Dari sisi dividen, PGEO sudah membagikan dividen sebesar Rp10,87/saham pada Juni 2023, yang pada saat diumumkan mengindikasikan dividend yield sebesar 1,15%. Sementara itu, BREN berencana membagikan dividen dengan payout ratio hingga 60% mulai dari tahun buku 2023.


Risk and Reward

BREN akan menarik bagi investor yang melihat konteks perseroan sebagai β€˜anak emas’ dari grup Barito. Sebagai gambaran per 1Q23 (TTM), BREN mencetak laba bersih sebesar 98 juta dolar AS, sementara BRPT hanya mencatatkan laba bersih 15,7 juta dolar AS yang utamanya disebabkan oleh rugi bersih TPIA sebesar 129,7 juta dolar AS. Valuasi P/E Ratio BREN sendiri jauh lebih rendah dibandingkan dua emiten Grup Barito lainnya di BEI, yakni BRPT dan TPIA.

Selain itu, status BREN saat ini sebagai perusahaan geothermal dengan kapasitas terpasang terbesar di Indonesia. BREN sendiri berpotensi meningkatkan NPM-nya ke depan melalui penambahan porsi kepemilikan di aset PLTP existing.

Di sisi lain, PGEO akan lebih menarik bagi investor yang lebih memilih valuasi yang lebih murah. PGEO merupakan pemain utama dari pemerintah untuk menggarap bisnis geothermal di Indonesia. Ke depan, pendapatan dan laba bersih PGEO juga berpotensi meningkat seiring rencana pertumbuhan organik dan anorganik.

Adapun beberapa risiko yang dimiliki BREN dan PGEO adalah sebagai berikut:

BREN:

  • Risiko perjanjian dengan PGEO karena aset PLTP BREN berada di atas WKP milik PGEO.

  • Risiko rasio utang berbunga terhadap ekuitas yang relatif tinggi dibandingkan PGEO. Setelah pembayaran utang dengan dana IPO, rasio utang berbunga terhadap ekuitas berada di level 3,99x.

  • Risiko valuasi BREN yang saat ini ditawarkan secara premium pada valuasi PER 60,2–70,8x dan PBV 14,1x.

PGEO:

  • Risiko pergantian personel manajemen utama yang dapat mengubah kinerja dan strategi perseroan ke depannya.

  • Risiko penambahan utang berbunga akibat rencana ekspansi organik dan anorganik yang akan dilakukan perseroan ke depannya.

  • Risiko ekspansi pada lokasi baru yang memerlukan waktu lebih lama dibandingkan ekspansi pada lokasi existing, sehingga penyelesaian proyek dapat mundur dari target awal.


________________
Penulis: 

Theodorus Melvin, Investment Analyst

Editor:

Vivi Handoyo Lie, Head of Investment Research

Edi Chandren, Investment Analyst Lead

Aulia Rahman Nugraha, Sr. Investment Journalist

Copyright 2023 Stockbit, all rights reserved.

Disclaimer: 

Semua konten dalam artikel ini dibuat untuk tujuan informasional dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual saham tertentu. Always do your own research.

PT Stockbit Sekuritas Digital (β€œStockbit”),  Perusahaan efek yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. 

Selanjutnya, semua keputusan investasi nasabah mengandung risiko dan adanya kemungkinan kerugian atas investasi tersebut. Seluruh risiko investasi bukan merupakan tanggung jawab Stockbit melainkan menjadi tanggung jawab masing-masing nasabah.

Domain resmi Stockbit adalah β€œhttps://stockbit.com/” dan semua informasi yang dikirimkan oleh kami akan menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit dan/atau alamat email yang diakhiri β€œ@Stockbit.com” Semua pemberian Informasi Rahasia kepada pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit namun tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit merupakan tanggung jawab pribadi pihak pemilik Informasi Rahasia dan kami tidak bertanggung jawab atas setiap penyalahgunaan Informasi Rahasia yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit yang tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit.

🌱 Pertamina Geothermal Energy ($PGEO): an Attractive Proxy to Green Energy? by Theodorus Melvin

πŸ‘‹ Stockbitor!

Pertamina Geothermal Energy ($PGEO) akhirnya melantai di Bursa Efek Indonesia pada Jumat (24/2) dengan harga IPO sebesar Rp875/saham. Dengan raihan dana sebesar 9,06 triliun rupiah, IPO saham PGEO merupakan yang terbesar ke-5 dalam sejarah bursa saham Indonesia.

Berdasarkan data Bank Dunia, potensi panas bumi Indonesia diperkirakan mencakup ~40% dari cadangan sumber daya panas bumi dunia. Dengan hanya 2,8 GW yang beroperasi pada 2022, terdapat potensi yang signifikan untuk eksplorasi lebih lanjut dan pertumbuhan organik. Total kapasitas panas bumi Indonesia diperkirakan akan tumbuh pesat menjadi sekitar 6,2 GW pada 2030, dengan CAGR sekitar 10,4% pada 2022–2030.

PGEO sendiri merupakan pemegang hak panas bumi terbesar di Indonesia. Lantas, bagaimana prospek anak usaha Pertamina ini ke depannya?


Nature Bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)


Untuk menghasilkan listrik, generator dan turbin di PLTP memerlukan uap air tanah yang dipanaskan oleh magma. Lalu, apa konsekuensi skema tersebut bagi PGEO?

Pic: Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi 
  • Stabil dan tidak perlu biaya bahan bakar, tapi berisiko natural decline

    Salah satu keunggulan PLTP dibandingkan renewable energy lainnya adalah kontinuitas dan stabilitasnya yang dapat diandalkan seperti PLTU. Kelebihan ini tidak dimiliki oleh energi terbarukan lainnya – seperti angin (PLTB) dan matahari (PLTS) – memiliki sifat intermittent yang membuatnya hanya dapat memproduksi listrik di waktu tertentu.

    PLTP juga tidak memerlukan biaya bahan bakar karena panas yang berasal dari bumi bisa didapatkan secara gratis, berbeda dari pembangkit listrik batu bara. Konsekuensinya, panas bumi tersebut harus diolah langsung di tempatnya untuk menjaga panas dan tekanannya. Karakteristik tersebut membuat PLTP memerlukan investasi awal yang besar untuk pembuatan uap dari panas bumi dan infrastruktur transmisi listrik guna menghantarkan listrik yang sudah diproduksi ke daerah padat penduduk. 


    Lokasi potensi panas bumi yang jauh dari daerah padat penduduk dapat memberikan risiko minimnya demand dari listrik yang dihasilkan PLTP. Untuk mengatasi masalah itu, PGEO mengusahakan setiap area operasi berdekatan dengan area padat penduduk, sehingga kapasitas pembangkit listrik dapat dimaksimalkan dan listrik yang dihasilkan dapat diserap oleh masyarakat. Sebagai contoh, PLTP Kamojang dan Karaha memiliki kota Bandung sebagai daerah padat penduduk, PLTP Lahendong memiliki kota Manado, PLTP Ulubelu memiliki kota Bandar Lampung, dan PLTP Lumut Balai memiliki kota Palembang.

    Selain itu, PLTP dapat mengalami risiko natural decline yang dapat mempengaruhi operasionalnya. Jika natural decline tersebut tidak dapat diperbaiki, maka satu-satunya cara adalah dengan mengebor sumur baru (make-up wells).

  • Capex besar, melibatkan berbagai pihak

    Operasional PLTP terdiri dari proses pembuatan gas dan proses pembuatan listrik. Untuk membangun infrastruktur bagi kedua kegiatan itu, diperlukan investasi awal hingga triliunan rupiah untuk masing-masing bagian. Hal ini menyebabkan perusahaan PLTP, termasuk PGEO, bekerja sama dengan beberapa pihak untuk membangun infrastruktur ini.

Pic: Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang dimiliki oleh PGEO beserta rincian operator pembangkit listriknya.

Saat ini, PGEO memiliki 13 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dengan rincian 8 dioperasikan sendiri, 4 dikontrakkan, dan 1 dimiliki anak usaha. Dari jumlah tersebut, sebagian operasi WKP dikerjakan seluruhnya oleh PGEO, mulai dari pembuatan gas hingga pembuatan listrik. Namun, di beberapa lokasi, PGEO bekerja sama dengan PLN, di mana PGEO berperan sebagai pembuat gas dan PLN sebagai pembuat listrik.

Pada kasus tertentu, seluruh proses PLTP bahkan dapat dikerjakan oleh kontraktor (pihak ketiga) melalui skema kontrak operasi bersama (KOB). Melalui skema ini, kontraktor meminta izin untuk mengerjakan area operasi tersebut dengan imbalan memberikan sebagian laba bersihnya kepada PGEO.

Salah satu kontraktor PGEO adalah Star Energy, anak usaha Barito Pacific ($BRPT), yang mengerjakan area operasi di Darajat, Salak, dan Wayang Windu. Mengutip laporan keuangan PGEO pada 9M22, kontraktor akan membayar 2,66–4% dari laba bersihnya kepada PGEO.

  • Beban depresiasi mendominasi sehingga margin EBITDA tinggi

    Kombinasi capex yang besar untuk aset tetap tanpa adanya biaya bahan bakar membuat komposisi beban pokok pendapatan PGEO didominasi oleh beban penyusutan (9M22: 66% dari total beban pokok). Karakteristik bisnis model ini membuat margin EBITDA yang tinggi, berkisar 79–85%. Hal ini juga ditambah dengan karakteristik bisnis model perusahaan pembangkit listrik yang terhitung stabil karena listrik yang dihasilkan perusahaan wajib diambil oleh PLN dengan skema take-or-pay

    PLN sendiri menyumbang ~96% pendapatan PGEO dan sisanya berasal dari pembayaran kontraktor KOB atas hak operasi di area operasi perseroan. Namun, PLN memiliki pengaruh signifikan atas renegosiasi tarif PJBL dan PJBU, mengingat PLN memiliki dan mengoperasikan satu-satunya jaringan listrik yang didistribusikan di Indonesia. Hal ini berpotensi membuat PGEO tidak dapat meningkatkan margin labanya.


Sekilas IPO PGEO: Ekspansi Kapasitas untuk Tumbuh


Dana hasil IPO yang didapatkan PGEO akan digunakan sebanyak 83,4% untuk belanja modal (capex) guna menambah kapasitas di WKP. Tujuannya untuk memenuhi permintaan tambahan dari pelanggan existing dan pelanggan baru.

 Pic: Alokasi dana hasil IPO yang akan digunakan oleh PGEO.

Dari total raihan dana IPO, maka PGEO akan menggunakan 7,56 triliun rupiah untuk membangun dan menambah kapasitas pembangkit listrik. Adapun 2 area operasi yang sudah pasti akan dikembangkan meliputi:

  1. Lumut Balai : 55 MW (+55 MW) = 110 MW

  2. Hululais : belum diutilisasi (+110 MW) = 110 MW


Pengembangan kapasitas lainnya masih menunggu proses studi kelayakan (feasibility study) dan kesepakatan awal, yang kemungkinan dapat dilakukan langsung oleh PGEO atau anak usahanya. PGEO belum merinci berapa dana yang akan digunakan untuk membangun masing-masing area operasi karena masih bergantung kepada total dana yang didapat dan proses pengerjaan.

Pertumbuhan PGEO sangat bergantung pada penambahan kapasitas pembangkit listriknya, baik dari area operasi yang sudah ada maupun area operasi baru. Sebab, saat ini kontrak take-or-pay PJBU dan PJBL dengan PLN sudah mencapai level `~90%, yang berarti PLN sudah menyerap hampir semua tenaga listrik yang diproduksi PGEO. Selain itu, availability factor sudah berada di level 92–100% dengan capacity factor mencapai 80–96%, yang mengindikasikan bahwa pembangkit listrik PGEO sudah berada di utilitas maksimum.

PGEO menargetkan akan menambah kapasitas terpasang sebesar 600 MW hingga 2027, sehingga total kapasitas menjadi 1.272 MW.

Selain capex, 100 juta dolar AS (1,5 triliun rupiah) atau 16,6% dana IPO akan digunakan sebagai pembayaran sebagian facilities agreement antara PGEO dengan mandated lead arrangers, kreditur sindikasi awal, dan Bank Mandiri ($BMRI) sebagai facility agent.


Kinerja PGEO

Berdasarkan laporan keuangan 9M22, mayoritas aset PGEO diisi oleh aset tetap dengan liabilitas yang berasal dari pinjaman bank. Pendapatan relatif stabil dengan margin yang cukup besar karena mayoritas transaksi dilakukan melalui skema PJBU atau PJBL dengan PLN. Akan tetapi, terdapat beberapa hal menarik yang bisa dikulik dari laporan keuangan ini:

Pic: Laporan keuangan PGEO per 9M22.
  1. Peningkatan pendapatan lain-lain 9M22 diakibatkan oleh tidak adanya nilai penurunan atas nilai aset tetap. Hal ini juga berakibat pada kenaikan laba bersih di 9M22.

  2. Pendapatan usaha turun jauh pada 2020 karena perubahan PSAK 72 yang mengubah hal penilaian kembali atas transaksi pass-through dengan kontraktor KOB.

  3. Pada 2020–2022, margin laba bruto (GPM) relatif stabil di kisaran 50–57% dengan margin laba bersih (NPM) di rentang 18–38%.

  4. Debt-to-Equity Ratio berada di kisaran 0,9–1,5x dengan tren yang terus menurun pada 2020–2022.

Pic: Kinerja PGEO per 6M22.

Dari sisi operasional, juga terdapat beberapa hal menarik yang perlu dicermati di antaranya:

  1. Produksi listrik masing-masing area operasi tidak selalu sejalan dengan laba bersih yang dihasilkan. Sebagai contoh pada 6M22, produksi listrik PLTP Kamojang (800.055 MWh) relatif mirip dengan produksi listrik Ulubelu (778.926 MWh), tetapi laba bersih yang dihasilkan PLTP Kamojang (37,8 juta dolar AS) lebih tinggi dibandingkan PLTP Ulubelu (19,8 juta dolar AS). Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan harga jual beli listrik dan efisiensi pembangkit listrik di masing-masing area operasi.

  2. Komposisi margin laba saat ini masih didominasi oleh 3 PLTP, yakni PLTP Kamojang, PLTP Ulubelu, dan PLTP Lahendong.


Valuasi PGEO: Murah atau Mahal?

Jika dilihat dari kacamata valuasi PBV 1,32x, valuasi PGEO terasa cukup murah. Namun, valuasinya akan lebih mahal jika kita menggunakan metrik PE dan PS serta membandingkannya dengan Star Energy Group Holdings Pte. Ltd., anak usaha Barito Pacific ($BRPT) di bidang PLTP.

Pada 8 Maret 2022 lalu, Green Era Pte. Ltd. – entitas yang dikendalikan Prajogo Pangestu – membeli 33,33% saham Star Energy Group Holdings Pte. Ltd. dari BCPG Public Company Limited dengan nilai 440 juta dolar AS. Dengan total ekuitas Star Energy Group Holdings yang mencapai 982,7 juta juta dolar AS per 2021, maka transaksi tersebut mengindikasikan PBV 1,34x.

Dengan perbandingan metrik yang sama, IPO saham PGEO ditransaksikan dengan nilai yang cukup wajar.Namun, dari sisi PE dan PS, valuasi PGEO ditransaksikan pada nilai yang relatif lebih mahal.

Pic: Perbandingan valuasi PGEO dengan Star Energy.

Mahalnya nilai transaksi PGEO atau murahnya nilai transaksi Star Energy dapat dipengaruhi oleh 2 hal. Pertama, PGEO merupakan pemegang hak panas bumi terbesar di Indonesia, termasuk hak atas area operasi panas bumi Star Energy. Dalam kontraknya, Star Energy bertindak sebagai kontraktor kepada PGEO, yang artinya hak operasi tetap dipegang oleh PGEO. Hal ini menjustifikasi nilai premium yang dimiliki oleh PGEO karena mereka mendapat bagi hasil keuntungan dari KOB dengan Star Energy.

Kedua, lebih murahnya transaksi Green Era dengan Star Energy Group Holdings dapat dipengaruhi Grup Pangestu. Sebelum transaksi ini dilakukan, 66,67% saham Star Energy Group Holdings sudah dimiliki oleh BRPT, perusahaan yang juga dimiliki Prajogo Pangestu. Afiliasi keduanya memungkinkan transaksi dilakukan pada harga yang lebih rendah dibandingkan harga pasar.

Retrospektif hari pertama IPO

Sebelum IPO berlangsung, beredar rumor bahwa Masdar – perusahaan energi yang merupakan anak usaha BUMN Uni Emirat Arab, Mubadala Investment Company – dan Indonesia Investment Authority sudah masuk menjadi investor PGEO. Masdar dikabarkan masuk melalui INA dan keduanya akan mengambil 20% dari total saham yang ditawarkan PGEO, dengan rincian porsi Masdar sebanyak 15% dan INA sebesar 5%. Saat IPO pada Jumat (24/2), harga saham PGEO sempat turun -6,86% menjadi 815 rupiah per lembar, sebelum ditutup di harga 875 rupiah per lembar atau sesuai harga IPO.

Lantas, apakah saham PGEO layak dibeli? We provide, you decide.


Penulis: Theodorus Melvin, Investment Analyst Stockbit

Editor: Aulia Rahman Nugraha, Investment Journalist Stockbit

Copyright 2023 Stockbit, all rights reserved.


Disclaimer: 

Versi asli dari tulisan ini sudah tayang di akun Stockbit @TheodorusMelvin pada 2 Februari 2023. Semua konten dalam artikel ini dibuat untuk tujuan informasional dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual saham tertentu. Always do your own research.

Semua konten dalam artikel ini dibuat untuk tujuan informasi dan bukan merupakan rekomendasi untuk membeli/menjual saham tertentu. Always do your own research. 

PT Stockbit Sekuritas Digital (β€œStockbit”), Perusahaan efek yang berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Selanjutnya, semua keputusan investasi nasabah mengandung risiko dan adanya kemungkinan kerugian atas investasi tersebut. Seluruh risiko investasi bukan merupakan tanggung jawab Stockbit melainkan menjadi tanggung jawab masing-masing nasabah.

Domain resmi Stockbit adalah β€œhttps://stockbit.com/” dan semua informasi yang dikirimkan oleh kami akan menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit dan/atau alamat email yang diakhiri β€œ@Stockbit.com” Semua pemberian Informasi Rahasia kepada pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit namun tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit merupakan tanggung jawab pribadi pihak pemilik Informasi Rahasia dan kami tidak bertanggung jawab atas setiap penyalahgunaan Informasi Rahasia yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan Stockbit yang tidak berasal dari atau tidak menggunakan platform resmi aplikasi Stockbit.